close× Telp +62 761 45505
close×

Index Berita

Jadilah “Muhammad Kecil”

Politik dan PemerintahanShort url: https://www.riau.go.id/s-4542
Selasa, 16 Okt 2018

Mendikbud Muhadjir Effendy di Universitas Muhammadiyah (MM), Ahad (7/8/2016) dulu mengatakan bahwa dengan system full day school (fds), secara perlahan anak didik akan terbangun karakternya dan tidak menjadi liar di luar sekolah ketika orang tua mereka masih belum pulang bekerja.

            Sebenarnya FDS merupakan sistem belajar selama sehari suntuk. Sebelum ide ini dicetuskan Mendikbud, jauh di masa lalu Lembaga Pendidikan Islam telah melakukannya, terutama di Indonesia melalui lembaga pesantren dan lembaga suluk.

            Di Pesantren, belajar tidak hanya sehari tapi sehari semalam. Bukan hanya karakter yang dibentuk tapi juga akhlak. Karakter sedikit berbeda dengan akhlak, karakter dicetuskan dunia barat yang ukurannya hanya pada nilai kemanusiaan dan berorientasi pada hal yang bersifat duniawi, temporal, dan profane. Sedangkan akhlak berdasarkan nilai ketuhanan yang tertanam sebagiannya pada jiwa manusia. Dengan membaca Al-quran misalnya, itu merupakan bagian untuk menumbuhkan nilai ketuhanan yang terdapat dalam diri manusia sehingga nantinya ia akan menjadi manusia yang meniru sifar ketuhanan yang lathif (lembut) karena Al-quran merupakan isi dari ungkapan Tuhan yang dapat dibaca secara zahir oleh manusia. Maka di Pesantren, para santri tidak boleh berpisah dari Al-quran. Sehingga semua ilmu yang dituntut dan dipelajari di bangku pesantren  mengarah untu dapat memahami bahasa Tuhan dalam Al-quran. Ketika sudah memahami itu sedikit demi sedikit maka diharapkan sedikit demi sedikit pula diterapkan dalam tingkah laku.

            Siti Aisyah ra. pernah ditanya seperti apakah tingkah laku atau akhlak Nabi Muhammad Saw., maka perempuan yang berwajah molek dan kemerah-merahan serta berakhlak mahmudah tersebut mengatakan bahwa akhlak Rasulullah Saw. adalah Adalah Al-quran.

            Semua yang dipelajari di Pesantren yang melebihi full day school pada hakikatnya menjadikan diri sebagai “Muhammad Kecil” dalam kehidupan. “Muhammad Kecil” dalam bahasa Al-quran dan Al-hadist adalah ulama. Kata Nabi, “Al Ulama Waratsat al-Anbiya”. Ulama itu pewaris para nabi, artinya ketika seorang santri telah tamat belajar, andai ia bekerja sebagai politikus maka rule modelnya adalah berpolitik ala Nabi. Jika ia nanti menjadi entrepreneur, maka ia pun memakai sistem ekonomi yang telah ditunjukkan nabi semasa ia berniaga. Ketika ia menjadi guru, maka cara Nabi menjadi guru perlu ditiru dan diteladani sebagai bahan dasar dalam mendidik, andai pun memakai teori dan cara modern tapi nilai asas atau cara pondasinya adalah yang telah digariskan sang guru besar yaitu Nabi Muhammad Saw.

            Ulama yang merupakan pewaris nabi dalam berbagai hal itu membawa peran sebagai penebar rahmatan li al-‘alamin. Kehadirannya dinanti, kepergiaanya ditangisi. Ia menjadi obor dalam gelap dan menjadi tongkat kala masyarakat patah dalam ujian kehidupannya.

            Dii negeri ini, kalaupun tidak dapat menjadikan sistem belajar di Pesantren bagi sekolah yang dilakukan selama sehari semalam itu, maka dengan sistem full day school saja sudah cukup memadai, tetapi tentu saja muatan akhlak harus menjadi porsi untuk mengisi waktu luang. Jangan jejali anak didik dengan pengetahuan dan bacaan tentang ilmu dan teknologi tanpa mengisi hati nurani mereka. Jangan jadikan mereka Robocop. Selain itu, jangan sampai tujuan diberlakukannya full day school untuk meringankan beban orang tua dalam mengurus anaknya karena mereka sibuk di tempat kerja, lalu anak dititipkan di sekolah selama sehari suntuk.

            Penanaman nilai akhlak mulia tidak hanya dengan metode tutur guru di depan kelas tapi yang lebih penting adalah denga metode “uswah” (keteladanan). Hari ini banyak orang pandai bicara, dan mengajar tentang nilai luhur tapi sedikit sekali yang mempraktekkannya dalam keseharian. Hari ini banyak orang pintar tapi sedikit saja yang menjadi baik, karena sebagiain tujuan belajar bagi sebagian orang tua hanya ingin menjadikan anaknya pandai, cerdas, punya gelar, punya tempat di masyarakat dan dapat pekerjaan tetap serta kaya-raya materi. Sedikit yang memahami bahwa menuntut ilmu itu suatu kewajiban. Dalam Islam, wajib itu bermakna berpahala melakukannya dan berdosa tidak melakukannya. Artinya, tuntutlah ilmu sebagai prilaku hamba yang mematuhi perintah Ilahi agar ilmu menjadi penjaga penuntut ilmu, baik untuk kepentingan dunia maupun alam baka. Maka jadilah “Muhammad Kecil” wahai para penuntut ilmu. Wallahu a’lam.