close× Telp +62 761 45505
close×

Index Berita

Mengenal Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial

Politik dan PemerintahanShort url: https://www.riau.go.id/s-5746
Senin, 31 Jan 2022

Dipersip.riau.go.id-Rendahnya budaya literasi, inovasi, dan kreativitas di Indonesia Literasi memiliki kontribusi positif dalam rangka membantu menumbuhkan kreativitas dan inovasi, serta meningkatkan keterampilan dan kecakapan sosial yang sangat dibutuhkan pada era revolusi industri 4.0. Membaca selain kitab suci baik cetak maupun elektronik baru mencapai 45,72 % . Penduduk yang mengakses internet masih sebesar 43,47 % (Susenas MSBP 2018). Selain itu, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) juga terus mengalami penurunan sejak 2015 dimana dari 188 Negara, Indonesia berada pada peringkat 113. Data Programme for International Student Asessment (PISA) 2019 mencatat bahwa skor membaca Indonesia ada di peringkat 72 dari 77 negara, lalu skor matematika ada di peringkat 72 dari 78 negara, dan skor sains ada di peringkat 70 dari 78 negara. Selain data dari PISA tersebut, data dari World’s Most Literate Nations yang dilansir Central Connecticut State University (CCSU), menyebutkan Indonesia menempati peringkat ke-60 dari 61 negara paling literat.

Di  Negara maju seperti Inggris, telah dibuat dokumen pedoman untuk mengimplementasikan inklusi sosial di Perpustakaan Umum, yang termasuk juga di dalamnya panduan untuk pembuat kebijakan lokal dalam mendukung program ini. Dalam dokumen tersebut disebutkan juga beberapa faktor yang akan menjadi penghambat bagi berjalannya program ‘inklusi sosial’ di Perpustakaan, yaitu Penghambat dari dalam institusi perpustakaan itu sendiri, seperti jam buka yang terlalu restriktif, adanya larangan-larangn tertentu dalam mengakses layanan perpustakaan, sikap staf atau pustakawan yang kurang ramah, regulasi yang terlalu ketat, aturan denda yang tidak fleksibel terutama bagi mereka yang kurang mampu, kebijakan penyediaan buku yang kurang sesuai dengan kebutuhan komunitas, baik judul, subjek maupun formatnya, kurangnya tanda penunjuk arah di dalam perpustakaan sehingga sulit untuk menemukan apa yang dibutuhkan, serta kurang bulatnya kebijakan yang dibuat terkait layanan dan fasilitas untuk pemustaka dari kalangan disabilitas. Hambatan yang datang dari dalam diri pemustaka itu sendiri, seperti kurangnya kemampuan dasar dalam membaca, menulis dan berkomunikasi, penghasilan yang rendah, diskriminasi baik secara langsung maupun tidak langsung, kurangnya hubungan sosial, rendahnya kepercayaan diri, dan tidak memiliki alamat yang tetap (homeless). Hambatan yang datang dari persepsi bahwa “perpustakaan itu bukan untuk umum”, yang sangat mungkin dibentuk baik oleh diri pemustaka itu sendiri maupun oleh komunitas lingkungan si pemustaka, yang biasanya berpendidikan rendah, hidup terisolasi, atau mereka yang merasa bahwa perpustakaan tidak relevan dengan pemenuhan kebutuhan mereka serta tidak faham bagaimana menggunakan layanan dan fasilitas yang tersedia. Hambatan yang muncul dari lingkungan dimana pemustaka itu tinggal, misalnya kesulitan akses secara fisik baik menuju maupun di dalam tempat tinggalnya, hunian bermasalah, atau terisolasi secara geografis sehingga akses terhadap transportasi menjadi sulit. (Libraries for All : Social Inclusion in Public Libraries Policy Guidance for Local Authorities in England, 1999).

         Untuk mengatasinya dokumen yang sama juga menjelaskan beberapa kebijakan yang harus diambil, yaitu; Inklusi sosial harus diutamakan sebagai prioritas kebijakan untuk layanan perpustakaan dan informasi.  Otoritas perpustakaan harus mempertimbangkan layanan spesifik apa yang perlu dirancang untuk memenuhi kebutuhan kelompok dan komunitas minoritas. Otoritas perpustakaan harus berkonsultasi dan melibatkan kelompok yang dikecualikan secara sosial untuk memastikan kebutuhan dan aspirasi mereka.  Perpustakaan harus berlokasi di mana ada permintaan, juga harus membangun di atas fasilitas dan layanan yang ada sedapat mungkin. Jam buka harus lebih fleksibel dan disesuaikan untuk mencerminkan kebutuhan dan minat masyarakat. Layanan perpustakaan dan informasi harus mengembangkan peran mereka sebagai pusat sumber daya masyarakat, serta menyediakan akses ke komunikasi dan informasi. Otoritas perpustakaan harus mempertimbangkan kemungkinan penempatan fasilitas bersama dengan layanan lain yang disediakan oleh otoritas setempat. Perpustakaan harus menjadi tempat belajar bagi pembelajar mandiri. Perpustakaan harus menjadi sarana utama untuk menyediakan akses TIK yang terjangkau (atau lebih disukai gratis) di tingkat lokal. Bermitra dengan organisasi pembelajaran lainnya. Otoritas perpustakaan harus mempertimbangkan apakah beberapa layanan mungkin lebih efektif diberikan dalam basis regional (Libraries for All : Social Inclusion in Public Libraries Policy Guidance for Local Authorities in England, 1999).

 

Dari permasalah tersebut, pemerintah indonesia bertekat meningkatkan literasi bangsa, salah satunya melalui Perpustakaan dengan program Transformasi Perpustakaan berbasis inklusi sosial. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-undang no 43 tahun 2007 pasal 5  ayat 1-5 menyebutkan bahwa masyarakat mempunyai hak yang sama untuk memperoleh layanan, memanfaatkan, dan mendayagunakan fasilitas perpustakaan;  Masyarakat di daerah terpencil, terisolir, atau terbelakang sebagai akibat faktor geografis berhak memperoleh layanan perpustakaan secara khusus; Masyarakat yang cacat atau kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan sosial berhak memperoleh layanan perpustakaan sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan masing-masing.

Inklusi Sosial

Inklusi adalah sebuah lingkungan yang bersifat terbuka. Inklusi juga merupakan suatu tindakan atau keadaan yang terjadi di suatu kelompok atau struktur tertentu yang menitikberatkan kepada keterlibatan seseorang atau orang per orang. Inklusi memiliki tujuan untuk membangun dan mengembangkan sebuah lingkungan yang semakin terbuka; mengajak masuk dan mengikutsertakan semua orang dengan berbagai perbedaan latar belakang, karakteristik, kemampuan, status, kondisi, etnik, budaya dan lainnya. Inklusi bersifat terbuka yang artinya terbuka dalam konsep lingkungan inklusi, berarti semua orang yang tinggal, berada dan beraktivitas dalam lingkungan tertentu, misal sekolah, perpustakaan ataupun kelompok masyarakat, merasa aman dan nyaman mendapatkan hak dan melaksanakan kewajibannya. Lingkungan inklusi merupakan wilayah dengan keadaan sosial masyarakat yang selalu terbuka, ramah tamah, menghilangkan segala masalah dan  selalu menyenangkan. Sebab seluruh warga saling menghargai dan selalu merangkul setiap perbedaan.

Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial

Dalam jurnal yang ditulis oleh Dian Arya Susanti dengan Judul “Implementasi Konsep Inklusi Sosial di Perguruan Tinggi; sebuah wacana” dijelaskan bahwa Konsep inklusi sosial pertama kali muncul pada tahun 1970-an di Prancis sebagai respon terhadap krisis kesejahteraan di negara-negara Eropa, yang memiliki dampak yang meningkat pada kerugian sosial di Eropa. Konsep ini menyebar ke seluruh Eropa dan Inggris sepanjang tahun 1980-an dan 90-an. Konsep ini mendapatkan perhatian yang luas setelah dibahas pada Konferensi Tingkat Tinggi World Summit for Social Development, Copenhagen, Denmark, 6-12 Maret 1995 atau dikenal dengan Copenhagen Declaration on Social Development. Deklarasi pembangunan sosial ini menekankan pada konsensus program aksi baru tentang perlunya menempatkan    masyarakat di pusat pembangunan. Pelibatan masyarakat dalam setiap aspek pembangunan dalam menunaikan hak-haknya ini disebut inklusi sosial.

The Canadian Urban Library Council (CULC) memberikan definisinya mengenai inklusi sosial sebagai “…the participatory, authentic, and accountable manner in which institutions uphold and reinforce the principles of access, equity and, as a result, social inclusion for all.” (Canadian Urban Council Libraries, 2010). Jika suatu organisasi melakukan prinsip partisipatori dan  selalu memberikan akses yang adil kepada semua orang, maka hasil akhir dari kegiatan organisasi tersebut adalah menjalankan proses inklusi sosial.

Paul Sturges dalam Mallawa (Suharyanto Mallawa, 2019) mendefinisikan perpustakaan berbasis inklusi sosial sebagai Perpustakaan yang bisa memfasilitasi masyarakat dalam mengembangkan potensinya dengan mempertimbangkan keragaman budaya, kemauan untuk menerima perubahan, serta menawarkan kesempatan berusaha, melindungi dan memperjuangkan budaya serta Hak Asasi Manusia.

sumber: https://dipersip.riau.go.id/post/mengenal-perpustakaan-berbasis-inklusi-sosial